Sains dan Etika: Perlunya Memiliki Pengetahuan Dasar Filsafat dalam Pengembangan Teknologi
Perkembangan teknologi, khususnya di bidang Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence – AI), bioteknologi, dan rekayasa genetika, bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Namun, kemajuan ini membawa serta dilema etika yang kompleks, menuntut para ilmuwan dan developer untuk tidak hanya menguasai kode dan laboratorium, tetapi juga Memiliki Pengetahuan Dasar filsafat. Kebutuhan akan pengetahuan dasar filsafat adalah kunci untuk menjamin bahwa inovasi teknologi sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak menciptakan masalah sosial atau moral yang lebih besar di masa depan. Tanpa landasan etika yang kuat, sains berisiko menjadi kekuatan destruktif yang tidak terkendali.
Mengapa para insinyur dan ilmuwan perlu Memiliki Pengetahuan Dasar filsafat? Jawabannya terletak pada kemampuan filsafat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang tidak bisa dijawab oleh sains murni. Sains menjawab “bagaimana” (bagaimana cara kerja sebuah algoritma), sementara filsafat menjawab “mengapa” dan “haruskah” (mengapa algoritma ini adil? haruskah kita mendelegasikan keputusan etis kepada mesin?). Sebagai contoh, dalam pengembangan mobil otonom, insinyur harus bergulat dengan “Dilema Trem” (Trolley Problem), yang merupakan murni masalah etika yang membutuhkan penalaran moral dan konsep utilitarianisme.
Pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi telah mengakui pentingnya integrasi ini. Sejak 1 Januari 2026, kurikulum wajib di seluruh politeknik dan fakultas teknik di Indonesia memasukkan 2 SKS mata kuliah Filsafat dan Etika Teknologi. Langkah ini didasarkan pada studi yang menunjukkan bahwa proyek teknologi yang melibatkan tinjauan etika sejak tahap desain memiliki tingkat penerimaan publik 30% lebih tinggi.
Lebih lanjut, Memiliki Pengetahuan Dasar logika dan epistemologi (teori pengetahuan) dari filsafat sangat membantu para peneliti dalam menganalisis bias dan keterbatasan metodologi ilmiah mereka sendiri. Misalnya, memahami konsep falsifiability (kemampuan untuk disangkal) adalah prinsip dasar filsafat ilmu yang mencegah ilmuwan mengklaim hasil yang tidak dapat diuji. Dengan mengintegrasikan kerangka berpikir filsafat, para pengembang teknologi tidak hanya menciptakan inovasi yang canggih secara teknis, tetapi juga bertanggung jawab secara moral, memastikan bahwa teknologi yang dihasilkan benar-benar berfungsi sebagai alat untuk memajukan kesejahteraan dan martabat manusia.